Tengah malam. Bulan telah melalui separuh perjalanannya.
Satu per satu, lampu kamar kost itu tergantikan dengan cahaya redup lampu tidur. Bahkan ada yang membiarkannya pekat tanpa cahaya apapun.
Sunyi. Suara tivi ataupun suara para penghuninya yang terkadang bingar, kini tak terdengar.
Tiba-tiba terdengar jeritan. Suara gadis itu keluar seperti dipaksa oleh bayangan seram yang dilihatnya.
Caca merapatkan selimut. Tidak seperti bulan lalu, saat mendengar suara serupa. Di malam yang juga pekat, dia bangkit dan mencari asal suara. Kali ini tidak! Dia bahkan mematikan lampu tidur yang selalu menemaninya bermimpi.
“Tolooong!”
Suara itu semakin panik. Caca bergidik juga akhirnya, setelah dari tadi mencoba menepis suara itu.
“Aaaah……!”
Sepertinya sebuah tikaman baru saja mendarat di tubuh pemilik suara itu, atau kobaran api menjilatnya. Mungkin juga air panas menyiraminya.
Caca tidak tahu. Suara itu membelah malam. Dan dia membiarkannya. Sebulan yang lalu, suara serupa terdengar tiga malam berturut-turut. Tiga malam pula, Caca keluar rumah untuk mencari asal suara.
Cahaya purnama membuatnya leluasa mencari pemilik suara itu, di antara pekarangan yang tidak terlalu luas. Tapi suara itu ditemukannya tanpa wujud dari dalam sumur yang juga diterangi purnama.
Tak ada seorang pun di kedalaman sumur itu. Hanya purnama yang berkaca, juga bau kaporit yang menyengat.
Suara itu langsung menghilang saat Caca menengok ke dalam sumur.
Malam ini, saat suara itu terdengar lagi, Caca memilih diam.
Percuma! Bulan lalu tiga malam berturut-turut dia keluar mencari, tapi tak ada yang didapatkannya kecuali bulan dalam sumur.
Lebih mengecewakan, karena paginya, saat dia bercerita ke teman kostnya yang lain, semua menganggapnya baru bangun dari mimpi buruk.
Hanya dia yang mendengar suara itu. Jeritan yang seandainya bulan di langit yang tertidur pun akan mendengarnya. Tapi ini tidak! Penghuni bumi pun, hanya Caca yang bisa mendengarnya tanpa pernah
melihat pemiliknya.
Selalu hilang, saat Caca menundukkan kepala ke dalam sumur. Sumur itu sebelumnya tak pernah dipergunakan airnya.
Tapi kemarau panjang, yang entah akan berakhir sampai kapan, membuat seluruh penghuni kost sepakat mengeruk airnya yang sudah bau, lalu ditaburi kaporit. Hasilnya lumayan, untuk urusan mandi dan mencuci, air sumur itu yang diberdayakan. Sementara air PAM yang hanya mengalir saat tengah malam, ditampung untuk keperluan minum dan masak.
“Tolooong!”
Suara itu tak lagi sekeras tadi, juga tak lagi histeris. Kini menyerupai pelasan minta belas kasihan.
Caca bisa membayangkan, pemilik suara itu telah dilukai dan kini memelas, menangis menahan sakit.
Caca yang dari tadi tak peduli, kini tersentuh hatinya untuk bangkit. Bulan lalu, suara itu tak pernah memelas seperti ini karena dia selalu keluar mencari pemiliknya. Tapi kini?
Suara minta tolong itu, berganti dengan isak yang memilukan. Caca semakin tersentuh, semakin ikut merasa, dan dia tak bisa bertahan dengan pendiriannya. Dia bangkit dari tempat tidur, lalu
melangkah ke arah sumur di luar rumah.Tak seperti bulan lalu, kali ini Caca ingin memastikan asal suara itu, benar berasal dari dalam sumur. Dengan mengendap-endap, Caca diterangi purnama yang separuhnya tertutup awan, melangkah menuju ke sumur yang diyakininya menjadi asal suara.
Suara isak itu masih terdengar. Makin memilukan.
Tak ingin ketahuan oleh pemilik suara, Caca tidak langsung
menengok ke dalam sumur. Dia duduk dan merapatkaan telinga di dinding sumur.
Jelas sekali, suara itu berasal dari dalam sumur.
Isak tangis yang memilukan, seolah pemilik suara itu dalam ketakutan yang teramat sangat, dan meminta pertolongan.
Caca memperhatikan langit. Kali ini wajah purnama masih dikabuti awan. Tepat di atas sumur!
Caca belum juga menengok ke dalam sumur, dia ingin tahu sampai kapan gadis itu akan menangis. Dan tiba-tiba…
“Tooloong!” Menjerit lagi.
Suara histeris itu bersamaan dengan berlalunya awan yang menyelimuti bulan. Purnama bulat utuh lagi.
Suara itu semakin menjerit kesakitan. Seolah bulan yang berkaca di dalam sumur menampakkan wajah seram untuknya.
Entah berapa lama suara itu melengking membelah malam. Tapi setiap bulan tertutupi awan, suara itu berubah memelas dalam tangis. Caca jadi yakin. Pemilik suara itu takut pada bulan yang tepat berada di atas sumur.
Caca tak ingin kecolongan, seperti bulan lalu, di
mana suara itu selalu menghilang saat dia menengok ke dalam sumur. Bukannya takut, jiwa petualang Caca malah penasaran dan memilih terus duduk, merapatkan telinga di dinding sumur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar